Rabu, 04 Februari 2009

Pura Manik Mas Besakih

Pura Manik Mas, Pakideh Pura Agung Besakih
Kawasan pura Agung Besakih berikut pura 18 pakideh menempati areal cukup luas dalam radius sekitar 3 kilometer dengan Pura Pasimpangan di sisi hilir dan Pura Pangubengan di sisi hulu. Pura Manik Mas, sebagai salah satu pakideh Pura Agung Besakih berlokasi di sisi selatan kawasan Pura Agung Besakih di bagian utara Pura Pasimpangan (lihat peta kawasan Pura Agung Besakih). Tuntunan sastra perihal rangkaian persembahan bakti di Pura Agung Besakih menyebutkan bahwa persembahyangan sepatutnya diawali dari Pura Manik Mas, lanjut kemudian secara bergantian pedek ke pura pakideh lainnya yang ada di soring ambal-ambal sepanjang margi agung sebelum tangkil di Pura Penataran Agung Besakih.
Untuk mendapat sekilas gambaran makna dan nilai filosofi perihal keberadaan Pura Manik Mas, Besakih, berikut saya kutip beberapa paragraf tulisan I Ketut Gobyah di rubrik Ajeg Bali, Bali Post tanggal 4 April 2007:

Tam deva budhne rjasah
sudamsasam, divas
prtivyor aratim nyerire. (Rgveda II.2.3)
bhutanam garbhama dadhe (Rgveda. III.27.9)
Artinya:
Tuhan Yang Maha Esa menggunakan api sebagai dasar menciptakan langit dan bumi. Api sebagai sumbernya pengembangan genernasi bagi semua makhluk.

Menurut kutipan mantra Weda di atas bahwa Tuhan menjadikan api sebagai dasar untuk menciptakan langit dan bumi. Apa yang berada di perut bumi itu sebagai sumber energi dalam bumi. Sedangkan matahari sebagai api di langit juga sebagai energi yang menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk.
Magma api di bumi dan matahari api di langit. Dua api sumber alam ciptaan Tuhan ini bekerja sama berdasarkan hukum Rta. Dari dua api itulah alam ini menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk isi alam ini. Secara moral manusia seyogianya merasa berutang atas karya Tuhan yang amat luas biasa ini. Pemujaan di Pura Manik Mas sebagai wujud bakti umat Hindu kepada Hyang Widhi atas keberadaan alam sebagai sumber kehidupan tersebut.
Dalam mitologi Hindu api magma itu dilukiskan berbentuk kura-kura raksasa. Karena itu disebut badawang nala. Kata ''badawang'' artinya kura-kura besar dan kata ''nala'' dalam bahasa Sansekerta artinya api. Api magma yang dibelit oleh kulit bumi berupa zat padat seperti tanah dan zat cair itu disimbolkan dalam mitologi Hindu sebagai kura-kura dibelit oleh dua ekor naga. Naga itu bernama Naga Basuki sebagai dewanya air penjelmaan Dewa Wisnu. Satu lagi bernama Naga Ananta Bhoga sebagai dewanya tanah penjelmaan Dewa Brahma. Dari tanahlah tercipta berbagai macam tumbuh-tumbuhan bahan makanan hewan dan manusia.
Karena api magma atau Badawang Nala itu dibelit oleh dua ekor naga maka Tuhan yang dipuja di Pura Manik Mas ini dalam sebutan lokal sebagai Ratu Mas Melilit. Arti kata Ratu Mas Melilit itu adalah beliau yang terbelit. Yang dimaksudkan beliau itu adalah magma yang dibelit oleh tanah dan air. Mengapa ada alam seperti itu? Hal itu terjadi jelas karena karya ciptaan Tuhan.
Pemujaan Tuhan sebagai pencipta magma memberikan kita pengetahuan bahwa ajaran Hindu itu mengajarkan bahwa kemahakuasaan Tuhan itu ada di mana-mana termasuk di magma pun ada karena kemahakuasaan Tuhan. Di samping itu pemujaan Tuhan sebagai pencipta magma yang dibelit oleh dua ekor naga juga memberikan kita pengetahuan bahwa keadaan bumi kita antara satu lapisan dengan lapisan yang lainnya saling terpadu. Dari keterpaduan alam itulah tercipta kesuburan untuk kehidupan semua makhluk hidup isi alam ini.
Dalam mitologi Hindu di Bali ada diceritakan bahwa kalau ada gempa bumi sangat diyakini oleh masyarakat Bali bahwa kura-kura api yang disebut dengan Badawang Nala itu begerak-gerak. Kalau dua ekor naga itu sampai tidak mampu membelit kura-kura api itu maka akan terjadi gempa yang sangat hebat dan gunung pun akan meletus. Tetapi letusan gunung itu di samping sebagai malapetaka juga membawa kesuburan. Di mana daerah yang ada gunung berapinya pasti daerah itu tanahnya subur untuk pertanian dalam arti luas.

Pangempon Pura Manik Mas
Keberadaan pura besar di Bali, kini dikenal dengan Kahyangan Jagat - terutama Pura Agung Besakih, senantiasa dikaitkan dengan peran pemimpin pada jamannya. Sejak kedatangan Rsi Markandeya ke gunung Tolangkir, peran Sri Kesari Warmadewa, kejayaan Dalem Waturenggong, hingga penyelenggaraan Eka Dasa Rudra paneregteg 1963 oleh Dalem Klungkung, pura Agung Besakih berikut segala kegiatan ritual selalu bertaut dengan titah sang raja.
Seiring dengan perjalanan waktu, penyempurnaan konsep fillosofi yang melandasi penyatuan Bali diterjemahkan dalam pembangunan pura pakideh di kawasan Besakih. Pembangunan dan pengembangan pura pakideh tersebut disertai pula dengan ketentuan penyelenggaraan dan pengelolaan upacara. Dalam sastra Raja Purana Pura Agung Besakih jelas disebutkan penyediaan tanah pelaba di pelosok Bali yang dihaturkan oleh Dalem sebagai “dana abadi” pelaksanaan upacara dan pemeliharaan pura. Berkembangnya kerajaan-kerajaan lain atau Asta Negara di wilayah Bali, yang dimanfaatkan oleh penjajah Belanda untuk memutus mata rantai pasuara Asta Negara, ternyata berpengaruh pada makin kaburnya status pelaba pura yang berakibat kian tidak jelas pengelolaan Pura Agung Besakih.
Masa pasca kemerdekaan, yang juga membagi Bali menjadi 8 daerah tingkat II dan sejak 1992 menjadi 9, akhirnya Pemerintah Provinsi Bali, Kabupaten dan Kota kembali bersepakat untuk mendampingi pangempon krama pemaksan di Besakih membagi tanggung jawab ngempon 18 pura pakideh untuk 9 kabupaten dan kota sedangkan Pura Penataran Agung Besakih menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Bali
Perihal keberadaan Pura Manik Mas, Besakih, Pemerintah Kabupaten Jembrana dan Pemaksan Ulun Kulkul ditetapkan sebagai pangempon. Selain Pura Manik Mas, Kabupaten Jembrana dan Pemaksan Ulun Kulkul juga ngempon Pura Pasimpangan, Besakih.
-
Keterangan Foto:
Foto 1: Pura Manik Mas sebelum dipugar saat dilaksanakan upacara Nyenuk serangkaian upacara Ngenteg Linggih di Pura Basukian, tahun 2004.
Foto 2: Pura Manik Mas setelah dipugar saat dilaksanakan upacara Nyenuk serangkaian upacara Ngenteg Linggih di Pura Pasimpangan, Agustus 2008 yang lalu.
.
Teks: I Ketut Gobyah, Widnyana Sudibya
Foto: Widnyana Sudibya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar