Pura Agung Besakih, yang terletak di desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem pada ketinggian sekitar 1000 meter di atas permukaan laut, oleh umat Hindu di Indonesia dipandang sebagai pura terbesar dan pusat pemujaan untuk umat Hindu di Indonesia.
Dengan latar belakang gunung Agung menjulang, pura Agung Besakih yang menempati lahan dengan kemiringan cukup tajam ditata sangat indah mengikuti irama kemiringan tanah sehingga terasa sangat padu dengan alam sekitarnya. Bentuk tumpang atap Meru yang menyita pandangan mata tampak akrab dengan bentuk cemara yang semakin mengecil di kejauhan lereng gunung Agung. Sapuan kabut tipis semakin memperkuat kedalaman dimensi di kawasan Pura Agung Besakih.
Penetapan lokasi pura Agung Besakih, pada masa lalu, tentu bukan suatu kebetulan belaka namun dapat dipastikan didasari atas berbagai pertimbangan dan peramalan yang mampu melihat jauh ke depan. Terbukti, hingga kini pura Agung Besakih seolah senantiasa menebarkan "taksu".
Pura Agung Besakih yang menempati kawasan seluas tidak kurang dari 12 km2 memang patut disebut sebagai pura terbesar di Bali, bahkan di Indonesia, karena dalam kawasan tersebut terdapat 18 Pura Pakideh (termasuk pura Pasar Agung di Selat), 4 Pura Catur Lawa, 13 pura Pedharman dan 13 pura Dadya/Paibon.
Dalam hal kelengkapan arah pemujaan, Pura Agung Besakih patut disebut sebagai pusat Kahyangan Jagat karena 4 diantara 18 pura Pakideh itu disebut sebagai Pura Catur Lokapala sebagai wujud kekuasaan Tuhan di empat arah penjuru. Pura Penataran Agung dipandang sebagai titik tengah dengan palinggih Padma Tigasebagai sthana Dewa Ciwa.
Berbagai upacara di pura Agung Besakih, khususnya di Pura Pakideh didasarkan atas perputaran waktu Sasih, Purnama-Tilem yang disebut Aci dan Usaba. Upacara-upacara ini ditutup dengan upacara Ngusaba Kadasa, lazim disebut dengan Bhatara Turun Kabeh yang dilaksanakan pada Purnama Kadasa.
Tuntunan sastra menyuratkan bahwa setiap perputaran 10 kali upacara Bhatara Turun Kabeh (setiap 10 tahun), saat angka satuan tahun Saka mencapai 0, patut diselenggarakan upacara Tawur yang disebut Panca Bali Krama. Disebutkan pula, setiap perputaran 10 kali upacara Panca Bali Krama (setiap 100 tahun), saat angka puluhan dan satuan tahhun Saka mencapai 0 - disebut pula rah windu tenggek windu, patut diselenggarakan upacara Tawur Eka Dasa Rudra. Demikian selanjutnya, setiap 10 kali perputaran Eka Dasa Rudra (setiap 1000), patut diseleggarakan yadnya jagat Marebhu Bhumi.
Begitulah perputaran berbagai bentuk upacara yang diselenggarakan di Pura Agung Besakih sebagai wujud pemujaan umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan latar belakang gunung Agung menjulang, pura Agung Besakih yang menempati lahan dengan kemiringan cukup tajam ditata sangat indah mengikuti irama kemiringan tanah sehingga terasa sangat padu dengan alam sekitarnya. Bentuk tumpang atap Meru yang menyita pandangan mata tampak akrab dengan bentuk cemara yang semakin mengecil di kejauhan lereng gunung Agung. Sapuan kabut tipis semakin memperkuat kedalaman dimensi di kawasan Pura Agung Besakih.
Penetapan lokasi pura Agung Besakih, pada masa lalu, tentu bukan suatu kebetulan belaka namun dapat dipastikan didasari atas berbagai pertimbangan dan peramalan yang mampu melihat jauh ke depan. Terbukti, hingga kini pura Agung Besakih seolah senantiasa menebarkan "taksu".
Pura Agung Besakih yang menempati kawasan seluas tidak kurang dari 12 km2 memang patut disebut sebagai pura terbesar di Bali, bahkan di Indonesia, karena dalam kawasan tersebut terdapat 18 Pura Pakideh (termasuk pura Pasar Agung di Selat), 4 Pura Catur Lawa, 13 pura Pedharman dan 13 pura Dadya/Paibon.
Dalam hal kelengkapan arah pemujaan, Pura Agung Besakih patut disebut sebagai pusat Kahyangan Jagat karena 4 diantara 18 pura Pakideh itu disebut sebagai Pura Catur Lokapala sebagai wujud kekuasaan Tuhan di empat arah penjuru. Pura Penataran Agung dipandang sebagai titik tengah dengan palinggih Padma Tigasebagai sthana Dewa Ciwa.
Berbagai upacara di pura Agung Besakih, khususnya di Pura Pakideh didasarkan atas perputaran waktu Sasih, Purnama-Tilem yang disebut Aci dan Usaba. Upacara-upacara ini ditutup dengan upacara Ngusaba Kadasa, lazim disebut dengan Bhatara Turun Kabeh yang dilaksanakan pada Purnama Kadasa.
Tuntunan sastra menyuratkan bahwa setiap perputaran 10 kali upacara Bhatara Turun Kabeh (setiap 10 tahun), saat angka satuan tahun Saka mencapai 0, patut diselenggarakan upacara Tawur yang disebut Panca Bali Krama. Disebutkan pula, setiap perputaran 10 kali upacara Panca Bali Krama (setiap 100 tahun), saat angka puluhan dan satuan tahhun Saka mencapai 0 - disebut pula rah windu tenggek windu, patut diselenggarakan upacara Tawur Eka Dasa Rudra. Demikian selanjutnya, setiap 10 kali perputaran Eka Dasa Rudra (setiap 1000), patut diseleggarakan yadnya jagat Marebhu Bhumi.
Begitulah perputaran berbagai bentuk upacara yang diselenggarakan di Pura Agung Besakih sebagai wujud pemujaan umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar